Diceritakan oleh Budi Heriyanto, S. Pd.
Sidalang adalah
nama sebuah desa bagian dari wilayah kecamatan Tersono, kabupaten Batang, Jawa
Tengah. Secara geografis, perkampungan
ini berada di sebuah perbukitan atau dataran tinggi, kira-kira tujuh kilometer
di sebelah selatan kecamatan Tersono. Desa tersebut terdiri atas empat perdukuhan
(dusun)yaitu Dukuh Sidalang, Dukuh Delisen, Dukuh Bonjor dan Dukuh Sibobor. Waktu
tempuh sekitar 15 – 30 menit dengan menggunakan sepeda motor dari pusat
kecamatan. Karena lokasinya di sebuah
perbukitan, perjalanan ke desa
tersebut harus melewati banyak medan
tanjakan dan sarat dengan tikungan tajam. Namun demikian, selain pemandangan
tepi jalan yang rindang oleh pepohonan melinjo, kopi, cengkeh, sengon (abasia),
dan jenis tanaman lainnya, jalan ke desa tersebut sudah cukup bagus (beraspal) karena
sebagai rute lintas antardesa maupun antar kecamatan yang lain, yaitu kecamatan
Sukorejo ( kabupaten Kendal) dan kecamatan Bawang.
Seperti
tempat-tempat lainnya, desa ini ternyata juga memiliki legenda yang unik dan
menarik. Bahkan ceritanya masih ada kaitannya dengan keberadaan Alas Roban (Hutan Roban).
Alkisah, dahulu
kala, salah satu kerajaan di nusantara yang bermusuhan kuat dan menolak
mentah-mentah keberadaan pemerintah Kompeni (Belanda) yaitu Kerajaan Mataram. Salah satu usahanya yaitu mengadakan
penyerangan dan pertempuran , walaupun saat itu posisi kompeni berada di
Batavia. Untuk itu kerajaan Mataram
mengirimkan dan menempatkan banyak prajurit ( bala tentara) di wilayah
Batavia. Dengan demikian, kerajaan Mataram sering mengirimkan prajurit-prajurit
lainnnya untuk membawa dan mengantarkan
perbekalan maupun segala kebutuhan
pangan guna mencukupi bala tentara di Batavia. Mereka harus berjalan beratus-ratus
kilometer meter melewati berbagai medan.
Dan, sampailah mereka di sebuah hutan belantara yang dikenal sebagai Alas Roban.
Dahulu kala, Alas
Roban ini merupakan tempat yang paling angker (menyeramkan), “jalma mara jalma mati “(jalma:manusia,maksudnya, siapa pun manusia
yang masuk daerah itu tidak akan bisa keluar dengan selamat). Selain terkenal sebagai
pusat alaming lelembut(alam kegelapan) yang dipimpin oleh Raja Siluman Uling
yang bernama Kolo Drubikso, Alas Roban juga merupakan markas indukpara begal,
kecu (Indonesia: penyamun),dan para perampok yang terkenal kejam dan
berdarah dingin. Mereka menghadang siapa saja yang melewati hutan tersebut dan
merampas semua barang bawaannya. Mereka seringkali menggunakan tindak kekerasan
melukai pemiliknya. Bahkan, tidak segan-segan membunuh para mangsanya dengan
kejam.
Hal ini juga
dialami oleh para prajurit Mataram yang hendak mengirimkan bahan-bahan
kebutuhan ke Batavia. Di tengah-tengah hutan tersebut mereka dihadang oleh
sekelompok perampok yang bersenjatakan parang dan pedang. Para perampok
berniat merampas semua barang bawaan dan
perbekalan prajurit-prajurit itu. Mestinya, para prajurit Mataram itu tidak akan memberikan atau merelakan
barang-barangnya diminta perampok. Setelah
melalui perseteruan panjang dan perkelahian yang cukup lama, para
perampok yang jumlahnya jauh lebih sedikit,akhirnya terdesak kalah, dan mereka
langsung melarikan diri. Prajurit Mataram tidak tinggal diam dengan kemenangan itu.
Mereka terus mengejar para perampok. Cukup jauh mereka mengejar
parampok-perampok yang masih terlihat mata itu. Namun, di suatu tempat para
prajurit berhenti karena sosok-sosok bayangan perampok tadi hilang, lenyap tak
telihat lagi keberadaannya. Akhirnya, para prajurit itu memutuskan untuk
kembali ke Alas Roban dan melanjutkan perjalanan mereka ke Batavia.
Peristiwa
seperti ini terjadi berulang kali di hutan yang sama. Perampokan, pelarian dan pengejaran terus terjadi. Sayangnya,
pengejaran para prajurit Mataram
terhadap para perampok selalu berhenti dan menemui jalan buntu. Setiap
sampi di tempat tertentu, di tempat yang sama dalam peristiwa sebelumnya, para
perampok berhasil meloloskan diri dan meng hilang dari pandangan
prajurit-prajurit tersebut.
Suatu ketika,
untuk kesekian kalinya, para parajurit
Mataram kembali melewati Alas Roban dengan membawa perbekalan dan
bahan kebutuhan seperti biasanya. Kali
ini jumlah pasukan lebih banyak daripada sebelumnya. Sekaligus mereka bertekat
menangkap dan membasmi para perampok di
Alas Roban yang selalu mengganggu dan
menghambat perjalanan pengiriman barang itu. Pucuk dicinta ulam tiba, sesampai di hutan Roban, tanpa jera
gerombolan perompok kembali beraksi,
menghadang dan hendak merampas barang-barang bawaan bala tentara Mataram
tersebut. Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Namun, mengingat
jumlah prajurit Mataram lebih banyak dengan pesrsenjataan lebih lengkap, mereka
dengan mudah mengatasi para perampok itu. Tidak sedikit dari pihak perampok
yang terluka parah dan tewas meregang nyawa di tempat itu. Sebagian dari para
perampok yang selamat, lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Mereka terus
berlari dan berlari. Begitu jugadengan
para prajurit, mereka terus
mengejar dan mengejar untuk menangkap
para perampok yang selalu meresahkan itu.
Keanehan
kembali terjadi, mereka pengejaran
mereka terhenti karena sosok para perampok lagi-lagi menghilang.
Sebagian dari prajurit merasa heran, mengapa setiap sampai di tempat itu, para
perampok sidane ilang (akhirnya
hilang). Dan itu terjadi berulangkali di tempat yang sama.
Dari kata sidane
ilang itulah kemudian menjadi sidalang, dan tempat itu menjadi sebuah
nama perkampungan, yaitu Sidalang.
Ternyata para
prajurit tidak putus asa. Pengejaran perampok terus dilakukan walaupun
mereka tidak lagi melihat sosok dan
jejak para perampok. Mereka selalu
menjelajahi daerah sekitar untuk mencari di mana persembunyian para
perampok.
Penjelajahan itu memakan waktu yang panjang dan melelahkan. Banyak dari
mereka yang merasa kehausan. Akhirnya mereka istirahat. Hingga salah satu dari
prajurit memutuskan untuk mencari sumber
mata air di sekeliling peristirahatan
mereka. Tak satupun didapatinya.
Prajurit itu terus mencari air untuk dirinya dan teman-temannya. Setelah
berjalan agak jauh, ia berhasil menemukan sebuah sumur tua dalam tanah. Ia
hendak mendekatinya untuk mengambil air sebyak-banyaknya. Namun, setelah sampai
di bibir sumur ia mencium bau banger (
Indonesia=bangar:busuk/ tidak sedap). Ia pun tidak jadi mengambil air itu
dan kembali ke tempat teman-temannya beristirahat serta melaporkan bahwa di
baru saja menemukan sumur tapi banger. (Sumur
banger: nama sebuah desa dekat desa Sidalang).
Perjalanan
pencarian tetap dilanjutkan. Mereka berputar-putar mencari di tempat yang tidak
jauh dari hilangnya para perampok. Akhirnya mereka berhasil menemukan sebuah bonjor (Indonesia = kubu : benteng ; markas pertahanan/ persembunyian) di
sebuah lereng bawah. Ternyata di situlah tempat para perampok Alas Roban
bersarang dan bersembunyi. Singkat cerita, para perampok tersebut bertekuk
lutut dan menyerah kalah terhadap prajurit- prajurit Mataram.
Sebenarnya, tempat
itu (bonjor) hampir tidak terlihat karena lokasinya yang dekat lembah dan
dikelilingi oleh pohon-pohon besar serta semak belukar yang masih lebat. (Bonjor merupakan salah satu nama dukuh/dusun di desa Sidalang).
|
Sidalang, Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar